SEBUAH CERITA PENDEK : SADARNYA SI MALING
Dalam senyap kota Kelabu,
rembulan memancar di atas atap seng yang berkarat. Malam itu, Trabes sang maling
legenda tengah menari di atas genting, kakinya yang tak beralas menelusuri
punggung kegelapan. Matanya, setajam binar kunang-kunang, mengintip rumah Nyonya
Permata, mangsanya yang telah lama di impikan.
Rumah itu merupakan bongkahan kemewahan di tengah lorong kumuh,
kilau perhiasan Nyonya Permata bagai lentera di mata Trabes. Rencananya malam
ini, lentera itu akan berpindah tangan. Dengan senyum tipis, Trabes menyusup
lubang angin, tubuhnya liat bagai ular yang baru menetas.
Dalam ruangan mewah,
Trabes mendesis kecewa. Brankas baja setebal kepalan tangannya berdiri angkuh, mengejek
keahliannya. Tapi Trabes tak gentar. Jemari lincahnya menari di atas tombol
brankas, memecahkan kode rahasia bagai pesulap ulung. Klik... Pintu baja
menganga, menampakkan tumpukan berlian, gelang giok, dan kalung emas yang
memancarkan keserakahan.
Namun, di sudut brankas,
ada sesuatu yang aneh. Sebuah kotak kayu lusuh, diikat pita kusut.
Keingintahuan menggelitik Trabes, mengalahkan kilau berlian. Ia membuka kotak
itu, harum kayu jati lapuk tercium. Isinya bukan permata, tapi tumpukan kertas
lusuh, bertuliskan kisah cinta Nyonya Permata dan pemuda miskin.
Trabes membaca kisah itu
dengan saksama, matanya berkaca-kaca. Cerita tentang mimpi yang kandas, cinta
yang dikhianati, dan perhiasan yang dikumpulkan bukan untuk pamer, melainkan
untuk mengenang janji yang digadaikan.
Trabes teringat masa
lalunya yang kelam. Ia juga pernah bermimpi besar, tapi semuanya sirna karena
kemiskinan dan kebodohan. Ia menjadi pencuri karena putus asa, bukan karena
jahat.
Trabes membeku, wajahnya
pucat bagai bulan di gerhana. Kilau berlian terasa hambar di matanya. Tangannya
bergetar, bukan karena takut, tapi karena malu. Kejahatan tak pernah sepedih
ini terasa. Ia menutup brankas, meninggalkan perhiasan yang kini bagai tumpukan
duka.
Dengan tangan gemetar,
Trabes keluar dari rumah Nyonya Permata. Langit sudah berpeluk senja, kota
bangun dengan hiruk pikuk. Tapi bagi Trabes, dunia terasa berbeda. Ia kini
mencuri bukan hanya harta, tapi juga kesadaran.
*****
Trabes berjalan
menyusuri lorong kumuh, pikirannya kacau balau. Ia tidak tahu harus berbuat
apa. Ia telah menjadi pencuri, tapi ia tidak ingin menjadi pencuri lagi.
Trabes pun sampai di sebuah
gang kecil, tempat ia biasa menghabiskan malamnya. Ia melihat sekumpulan
anak-anak bermain, tawa mereka terdengar riang. Trabes tersenyum, ia teringat
masa kecilnya yang bahagia.
Trabes kemudian duduk di
trotoar, menatap langit yang penuh bintang. Ia berpikir tentang masa depan,
tentang apa yang ingin ia lakukan. Ia ingin berubah, ia ingin menjadi orang
yang lebih baik.
*****
Keesokan harinya, Trabes
pergi ke sebuah perpustakaan. Ia ingin belajar, ingin mengubah hidupnya. Ia
membaca buku tentang berbagai hal, tentang dunia, tentang kehidupan.
Trabes juga mulai
bekerja paruh waktu, mengumpulkan uang untuk melanjutkan pendidikan. Ia bekerja
keras, ia tidak ingin menyerah.
Beberapa tahun kemudian,
Trabes lulus dari universitas. Ia mendapatkan pekerjaan sebagai guru di sebuah
sekolah dasar di kota itu.
Trabes sangat bahagia
dengan pekerjaannya. Ia senang bisa mengajar anak-anak, bisa berbagi ilmu dan
pengalaman dengan mereka.
Suatu hari, Trabes
sedang mengajar di kelas ketika seorang anak perempuan bernama Kirana mengangkat
tangan.
"Pak Guru,"
kata Kirana, "Bolehkah saya bertanya?"
"Tentu saja,"
jawab Trabes.
"Pak Guru,"
kata Kirana, "Mengapa ada orang yang mencuri?"
Trabes tersenyum. Ia
tahu bahwa Kirana bertanya itu karena ia mendengar cerita tentangnya.
"Kirana," kata
Trabes, "Pencuri biasanya mencuri karena mereka membutuhkan uang. Mereka
mungkin miskin, atau mereka mungkin punya hutang yang harus dibayar."
"Tapi, Pak
Guru," kata Kirana, "Bukankah mencuri itu salah?"
"Ya, Kirana,
mencuri itu salah," jawab Trabes. "Tapi, kita harus memahami kenapa
orang itu mencuri.
cerpen sadarnya si maling ini memiliki pesan moral bahwa seberapa pun kesalahan seseroang ketika mau mendenmgarkan hati nurani maka pintu kesadran akan selalu terbuka. Semoga cerita ini dapat menginspirasi.